Home » » Politisi Korup Salah Siapa? (Menilik Konsep Dasar Pemikiran Politik Plato)

Politisi Korup Salah Siapa? (Menilik Konsep Dasar Pemikiran Politik Plato)


RADARKAMPUS.COM | Korupsi bukan lagi kejahatan baru, hal ini bak budaya yang telah ada sejak berabad abad silam. Sejenak kita menengok ke belakang, tradisi korupsi berlangsung dalam bentuk perebutan kekuasaan dalam kerajaan seperti  perebutan kekuasaan di Kerajaan Singosari, Kerajaan Majapahit, Kerajaan Demak dan Kerajaan Banten. Dari hal – hal tersebut dapat dilihat bahwa bahwa konflik kekuasan yang disertai dengan motif untuk memperkaya diri, telah menjadi faktor utama kehancuran kerajaan-kerajaan tersebut. Banyak pihak yang tidak puas dengan apa yang dimilikinya saat itu. Mulai dari harta kekayaan yang dimiliki hingga kekuasaan yang diberikan kepadanya oleh atasannya. Bukan saja pada era kerajaan, masa kolonial pun budaya korupsi telah merajalela, budaya korupsi ini berkembang dikalangan tokoh-tokoh lokal yang sengaja dijadikan badut politik oleh penjajah, untuk menjalankan daerah adiministratif tertentu, semisal demang (lurah), tumenggung (setingkat kabupaten atau provinsi), dan pejabat-pejabat lainnya yang merupakan orang-orang suruhan penjajah Belanda untuk menjaga dan mengawasi daerah teritorial tertentu. Praktek feodalisme makin berkembang seiring dengan praktek hegemoni dan dominasi serta perilaku oportunis. Mereka yang diangkat dan dipekerjakan oleh Belanda untuk memanen upeti atau pajak dari rakyat, digunakan oleh penjajah Belanda untuk memperkaya diri dengan menghisap hak dan kehidupan rakyat Indonesia. 

Bahkan, kejahatan ini tetap tumbuh subur di era pasca kemerdekaan. Tak luput juga pada era orla, orba, dan reformasi. Abadinya korupsi pada saat ini lebih banyak menjerat politisi negeri. Menurut data Indonesia Corruption Watch (ICW) sejak 2015, sudah 82 politisi dijerat KPK. (http://www.money.id/news/). Partai Golkar dan PDIP menempati posisi paling atas dengan jumlah politisi terbanyak yang tersangkut kasus korupsi. Sebenarnya korupsi para politikus bersumber dari tidak terpecahkannya salah satu misteri terbesar kehidupan kepartaian kita, yaitu kelangkaan finansial untuk survavilitas partai. Ada dua kesenjangan dalam keuangan partai (S-2 PLOD UGM, 2007). Pertama, sisi investasi finansial untuk memenuhi kebutuhan partai adalah tidak terbatas. Pada saat bersamaan, partai adalah institusi yang didesain tidak dengan motif mencari laba. Partai adalah institusi nirlaba, tetapi melibatkan investasi tak terhingga. Kedua, ada ketidakseimbangan antara kebutuhan investasi partai dan sumber pembiayaan yang secara normatif diletakkan pada iuran dan sumbangan. Kedua gap itu menjadi struktur pemaksa terjadinya korupsi yang dilakukan politisi. Politisi dihadapkan kewajiban mengatasi kelangkaan finansial partai agar diri dan partainya tetap bertahan. Jalan pintas yang ditempuh adalah kapitalisasi instrumen yang dimiliki politisi dalam mengendalikan perilaku eksekutif. Instrumen yang dimiliki politisi seperti fungsi penganggaran, pengawasan, dan legislasi ditransaksikan dengan eksekutif maupun pemodal untuk mendapat rente. Akibatnya, korupsi adalah jalan yang harus ditempuh politisi guna mengatasi kelangkaan finansial partai. (http://www.antikorupsi.org/).

Lalu siapa yang bersalah atas kondisi ini? Partaikah? Politisikah? Atau rakyat? Sejenak kita menilik konsep dasar pemikiran politik Plato, seorang filsuf politik yang lahir pada abad 5 SM. Pada masa mudanya, Plato tertarik pada masa depan kehidupan politik praktis. Akan tetapi, beberapa kejadian seperti penjatuhan hukuman mati Socrates (teman sekaligus gurunya) oleh penguasa kaum demokrat, membuat Plato meninggalkan dunia politik kota Athena. Hingga pada tahun 388 SM, ia kembali ke Athena dan mendirikan Akademi (sekolah filsafat). Gaya pemikiran Plato menggunakan bentuk dialog, sebagaimana yang dilakukan oleh gurunya. Dalam dialognya, Plato memaparkan tiga dialognya yang menyangkut semua ide – ide substansialnya, yaitu Republic, Statesman, dan Laws. Terdapat empat konsep dasar yang menjadi landasan pokok filsafat politiknya, yaitu pertama, kebajikan adalah pengetahuan. Kedua, manusia mempunyai bakat, kecerdasan dan kemampuan yang tidak sama. Ketiga, negara adalah lembaga yang alami. Keempat, tujuan masyarakat politik adalah kebaikan bersama.

Konsep pemikiran Plato yang pertama yaitu kebajikan adalah pengetahuan, dalam doktrin ini terdapat tiga konsep antara lain, kebenaran harus diposisikan secara obyektif, kebajikan diidentikan dengan pengetahuan, dan negara harus mengambil peran aktif dalm mendidik rakyatnya. Menelaah dari konsep kebenaran harus diposisikan secara obyektif membawa implikasi bahwa seseorang menjadi netral, tidak berpihak, tetapi berpihak pada kebenaran. Penekanan ini oleh Plato didasari suatu praduga bahwa kita hanya bisa memiliki opini saja bukannya pengetahuan yang sejati. Pengetahuan yang sejati dapat dimaknai pengetahuan dari aspek sikap, kognitif, dan keterampilan. Seseorang yang telah mengimplementasikan suatu pengetahuan dalam ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik, ia tidak hanya sekedar tahu secara keilmuan namun juga tercermin dalam sikap dan keterampilannya. 

Namun, jika melihat para koruptor yang secara kognitif memiliki pengetahuan yang baik, hanya saja pengetahuan itu tidak sampai ia terapkan dalam perilakunya, jadi hanya sebatas teoritik di ranah pengetahuan. Konsep kebajikan diidentikkan dengan dengan pengetahuan, maka orang yang mengetahui dan memahami makna dari kebajikan itu harus diberi peran yang menentukan dalam urusan publik. Tugas menemukan penguasa yang bijak dilakukan melalui pengajaran. Akan tetapi, yang terjadi saat ini penguasa ditentukan oleh hasil suara terbanyak, bahkan pemberi suarapun belum tentu orang yang melek politik. Jadi tidak heran jika banyak penguasa yang korup karena ia berada disana bukan karena teruji kualitasnya, melainkan karena kuantitas yang banyak. Selanjutnya, konsep negara harus mengambil peran aktif dalam mendidik rayatnya, khususnya bagi orang – orang yang mendapat kepercayaan. Bertolak dari teori ini, yang terjadi dalam kehidpan nyata adalah pelayan publik justru menggunakan haknya untuk memenuhi kebutuhan pribadi, yang seyogyanya ia menempatkan diri sebagai orang yang melayani kepentingan publik. Persepsi semacam ini membuat orang bekerja untuk memenuhi kebutuhan diri tanpa sadar peran vitalnya sebagai pelayan publik.

Konsep pemikiran Plato yang kedua, ketidak samaan antar manusia. Dalam konsep ini Plato lebih menekankan pada aspek kualitas sehingga melahirkan perbedaan – perbedaan dalam diri manusia. Dengan perbedaan kualitas ini, Plato beranggapan bahwa sangatlah bodoh dan tak bermakna untuk menempatkan seseorang yang inferior dalam posisi kepercayaan publik sementara dia tidak cakap secara alamiah dan tidak terlatih. Hal ini tidak jarang kita temui, politisi yang melakukan money politic untuk mendapatkan suara adalah perwujudan dari pemikiran Plato ini. Jika ia menjadi pejabat publik, kedekatannya dengan korupsi sangatlah besar. Rakyat yang memilihnya hanya karena uang, dipandang sebagai suatu kebodohan.

Konsep pemikiran Plato yang ketiga, negara sebagai institusi alamiah. Dalam konsep ini Plato berpijak bahwa negara harus mampu menyatukan, mampu mengikat manusia secara bersama dalam asosiasi politik. Bentuk ikatan manusia dalam asosiasi politik itu adalah keadilan, yaitu keadilan harmoni. Hal yang dimaknai sebagai keadilan harmoni itu, dimana setiap orang mendapatkan hak sesuai dengan peran yang diembannya. Kejahatan yang terbesar pada masyarakat adalah bilamana terjadi perselisihan, kebingungan, dan pluralitas yang mengarah pada kepentingan individu. Sama halnya dengan korupsi, suatu kegiatan yang mengarah pada upaya untuk memperkaya diri sendiri untuk kepentingan pribadi. Maka, korupsi dalam konsep ini merupakan kejahatan besar dalam suatu negara.

Konsep pemikiran Plato yang keempat, tujuan masyarakat politik adalah kebaikan bersama. Negara bagi Plato bukanlah untuk kebaikan individu atau kelas tertentu, tetapi kehadirannya untuk kebaikan atau kesejahteraan umum.bila dikaitkan dengan korupsi, korupsi adalah bentuk ketidakpuasan individu dalam mewujudkan kesejahteraan baginya, sehingga dia berupaya untuk melakukan suatu hal (korupsi) untuk memenuhi kesejahteraan dirinya. Orientasi kesejahteraan umum bergeser pada orientasi kehidupan individu.

Menilik dari konsep pemikiran politik Plato tersebut, jika keempat konsep itu berjalan dengan kondisi yang semestinya, bukan suatu kemustahilan suatu negara menjadi negara yang ideal. Memandang korupsi dari keempat konsep tersebut akan muncul beberapa aktor, yaitu negara, rakyat, dan pejabat publik (dalam hal ini politisi). Negara dalam perannya sebagai institusi tertinggi memiliki kewajiban untuk mencerdaskan kehidupan bangsa agar demokrasi yang tercipta berupa demokrasi yang berkualitas, bukan demokrasi yang diwarnai korupsi di berbagai kalangan. Selanjutnya rakyat, dalam menentukan tokoh yang akan mengisi jabatan politis, perlu menjadi rakyat yang cerdas. Suatu kebodohan jika menempatkan seseorang yang bukan ahlinya dalam suatu bidang. Terakhir yaitu politisi, kebajikan adalah seseorang yang memiliki pengetahuan sejati. Sebagai perwakilan rakyat yang memegang kepercayaan masyarakat, pengetahuan saja tidak cukup. Pengetahuan yang berupa hal baik dan buruk jika hanya tersaji dalam otak, akan sia – sia ketika dibenturkan dengan berbagai kondisi di kehidupan. Pengetahuan sejati menjadi kunci kebajikan, yang berupa kognitif, afektif, dan psikomotorik. Jadi, korupsi bukan hanya kesalahan satu aktor saja, namun semuanya terikat dalam sebuah sistem dimana diantara berbagai unsur tersebut saling mempengaruhi satu sama lain.

**) Tulisan dari Ari Setiawati, Mahasiswa Aktif Jurusan Politik dan Kewarganegaraan, saat ini sedang aktif sebagai sekertaris Departemen BEM Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang


Search this Site